Jumat, April 29, 2011

Fiqh Siyasi

Fiqh Siyasi
Oleh : Agus Bin Affan

Seorang muslim tidak akan sempurna islamnya kecuali jika ia seorang politisi, …
(Hasan albanna ; Majmu’ah Rosail)


Pengertian

Fiqih: asal kata (mashdar) dari kata kerja lampau “Faquha” yang berarti “memahami”. Memahami perkara, berarti baik mengerti maksudnya. Fulanun laa yafqahu: Si fulan tidak mengerti dan tidak memahami. Fiqih: berarti faham dan pandai. Fiqih bukan berarti hanya mengerti, tetapi merupakan kefahaman mendalam yang mengharuskan menggunakan pikiran, menajamkan otak dan mencurahkan upaya maksimal dalam hal tersebut.

Fiqih dalam istilah syara`: Pengambilan hukum syara’ yang praktis (amali) dari dalil-dalilnya secara rinci.

Adapun lafal siyaasi diambil dari lafal “Saasa”, dan isim fa`il “Saa`is”, dan mashdar (akar katanya)-nya “siyaasah” yang artinya penjagaan, maka “Saa`is Al-Khail” berarti penjaga kuda, dan “Saasa Al-`Ummah” berarti menjaga urusan ummat.

Politikus (Siyaasi): adalah orang yang mem¬berikan perhatian kepada urusan-urusan ummat dan memahaminya dengan teliti, mengerti dan mencarikan solusinya berdasarkan ide dan pemikirannya yang benar. Politikus Islami (Siyaasi Islami): Ialah seorang Muslim yang konsisten dengan Islam yang menangani berbagai urusan ummat dari sisi pandangan Islam dan hukum syara’.

Fiqih Siyaasi (Fiqih Politik): Adalah pemahaman yang mendalam terhadap urusan-urusan ummat baik internal maupun eksternal, pengurusan dan penjagaan urusan-urusan ini dalam visi dan petunjuk hukum syara’. Jadi politik itu terbagi menjadi dua macam: politik syar’i (politik Islam) dan politik non syar’i (politik non Islam). Politik syar’i berarti upaya membawa semua manusia kepada pandangan syar’i dan khilafah (sistem pemerintahan Islam) yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik non syar’i atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan hukum lainnya sebagai pengganti bagi syari’at Islam dan bisa saja bertentangan dengan Islam. Politik seperti ini menolak politik syar’i karena merupakan politik yang tidak memiliki agama. Sedangkan politik yang tidak memiliki agama adalah politik jahiliyah.
(http://barisanrabbani.blogspot.com)

Politik; Antara Islam dan Barat

untuk mengetahui keunggulan politik islam maka perlu diperbandingkan politik dalam pandangan Barat dengan politik dalam pandangan Islam. Pandangan politik Barat bisa diketahui akarnya dari pemikiran politik Plato dan Aristoteles. Sehingga pokok-pokok pemikaran politik Barat terformulasikan ke dalam prinsip-prinsip pemisahan politik dengan etika, agama dengan hukum, pembedaan kedudukan antara masyarakat dan negara, kedaulatan politik dan personalitas negara dalam pembuatan hukum.

Sedangkan dalam Islam, politik harus bersumber dari agama. Sebagaimana karakter Islam yang syamil, mengatur segala segi kehidupan, maka politik pun harus sejalan dengan syariat. Bahkan definisi politik (baca: siyasah syar'iyah) itu sendiri berarti segala upaya untuk memperhatikan urusan kaum muslimin, dengan jalan menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka.

Maka perbedaan pertama antara politik Islam dan politik Barat (sekuler) adalah landasannya. Politik Islam dibangun dari tauhid, sementara politik Barat justru memisahkan politik dari agama. Standart kebenaran dalam politik Islam jelas, yaitu Al-Qur'an dan hadits, sementara standar kebenaran dalam politik Barat bersifat relatif, sesuai dengan kesepakatan rakyat (atau atas nama rakyat).

Perbedaan lainnya adalah sumber kedaulatan, legitimasi kekuasaan, dan aplikasi. Pada politik Islam, sumber kedaulatan adalah Allah SWT. Maka segala hukum dan keputusan politik harus bersumber dari sana. Sedangkan politik Barat menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, tidak peduli apa aturan Tuhan. Dalam politik Islam, legitimasi kekuasaannya adalah manusia dengan nilai, semetara politik Barat minus nilai. Lalu pada tataran aplikasi, politik Islam cenderung stabil karena berpedoman pada nilai-nilai Ilahiyah yang sudah given, sementara politik Barat bersifat spekulatif dan penuh konflik.

Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Islam

Negara dan pemerintahan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Ada enam alasan yang menunjukkan hal itu. Pertama, Al-Qur'an memiliki seperangkat hukum –misalnya qishash, maliyah, dan jihad- yang pelaksanaannya membutuhkan negara dan pemerintahan. Kedua, pelaksanaan dan pengawasan aqidah, syariah, dan akhlak yang telah diatur dalam Al-Qur'an membutuhkan intervensi negara. Ketiga, adanya ucapan-ucapan nabi yang dapat menjadi istidlal bahwa negara dan pemerintahan menjadi elemen penting dalam ajaran Islam. Keempat, perbuatan Nabi yang dapat dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas negara dan kepemerintahan. Kelima, para sahabat lebih memprioritaskan memilih pemimpin pengganti Nabi daripada mengurus jenazah beliau. Dan keenam, kepemimpinan (imarah) telah menjadi bahan kajian dan pembahasan para ulama dalam kitab mereka sepanjang sejarah

Dalam negara atau pemerintahan Islam, kepemimpinan tertinggi dikenal sebagai khilafah. Terminologi khilafah ini dipakai untuk menjelaskan tugas yang diemban para pemimpin pascakenabian. Kepemimpinan dalam perspektif khilafah –menurut Ahmad Dzakirin- lebih merefleksikan pemahaman terhadap nilai dan prinsip kepemimpinan yang benar menurut Islam ketimbang sebagai sebuah eksistensi maupun bentuk pemerintahan.

Kepemimpinan dalam Islam, yang pada tingkatan tertingginya merupakan implementasi tugas kekhilafahan, setidaknya harus memenuhi tiga syarat: integritas keilmuan, integritas moral (keshalehan individual), dan kemampuan profesional.

Dalam kaitannya dengan mekanisme pengangkatan kepemimpinan, Al-Qur'an dan Sunnah tidak menetapkan mekanismenya. Yang kita dapati adalah ijma' (kesepakatan) sahabat. Mereka memilih Abu Bakar, Umar hingga Ali dengan cara yang berbeda. Abu Bakar dengan musyawarah mufakat, Umar ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya, Ustman melalui tim formatur, dan Ali secara aklamasi dibaiat kaum muslimin Madinah dan Kufah.

Selain kepemimpinan yang lebih condong sebagai eksekutif, dalam Islam juga dikenal ahlul hall wal aqdi yang menjalankan fungsi legislatif, dan adanya para qadhi atau hakim sebagai unsur yudikatif.

Sementara dalam penyelenggaraan pemerintahannya, politik Islam memiliki prinsip syura, prinsip keadilan, prinsip kebebasan, dan prinsip persamaan yang meliputi persamaan umum, persamaan di depan hukum, dan persamaan hak-hak sosial.


Islam dan Demokrasi


Demokrasi sebagai ide politik modern Barat merupakan hal yang tidak pernah berhenti untuk didiskusikan dalam perpolitikan Islam modern. Ini dikarenakan adanya hal-hal positif dalam demokrasi yang sejalan dengan nilai Islam dan bisa dimanfaatkan oleh Islam alih-alih pilihan-pilihan politik lain yang kemadharatannya jauh lebih besar. Namun demikian, ada banyak kelemahan sistemis dari demokrasi dalam praktiknya di negeri-negeri muslim.

Gerakan Islam dewasa ini sepatutnya untuk tidak keberatan dengan praktik demokrasi dan perlu secara tegas menepis kecurigaan dari kalangan sekuler bahwa demokrasi hanya dijadikan alat untuk mencapai kemenangan.

Tarbiyah siyasiyah (ahmad dzakirin) ; www.muchlisin.blogspot.com



Pendapat Ulama Tentang Pemilu

“Sesungguhnya Salafiyin tidak mendukung pencalonan untuk Pemilu, namun mereka memandang bahwa memilih siapa yang lebih utama dan lebih baik serta paling banyak positifnya dan paling minim negatifnya untuk maslahat umum adalah hal yang diperbolehkan.” Kata Syeikh Ali Hasan kepada Al Jazeera.

Masih menurut Syeikh Al Halabi, “Syeikh Al Albani juga memiliki pendapat membolehkan berpertisipasi dalam Pemilu, di saat itu beberapa muridnya menyeselisihi dengan dengan menggunakan adab.Hari ini, sebagai dampak dari perkembangan pemikiran dan memandang sebagai maslahat umum, kami kembali kepada pendapat Syeikh Al Albani, tentang bolehnya mengikuti pemilu parlemen.” Ungkap Al Halabi

Demikian pula Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan, “Pemerintah telah meminta kepada kalian untuk mengikuti Pemilu, dan hal itu bukanlah keharaman. Janganlah kalian melakukan pemboikotan. Pemboikotan bukanlah ibadah. Adalah orang yang salah jika ia berfikir melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan pemboikotan”
www.al-ikhwan.net

Amal siyasi islami mempunyai dua titik tolak mendasar:

Pertama: Amal siyasi islami adalah amal sepanjang hayat, sebab, medan amal siyasi adalah keseluruhan amal kehidupan dan keduniaan semata, baik sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Dan ia tidak mempunyai hubungan dengan urusan-urusan agama murni, semisal ibadah, ritual dan aqidah, di mana medannya adalah amal dakwah dan bukan amal siyasi. Jadi, amal siyasi adalah amal madani, hanya saja, hukum-hukumnya dan berbagai pengorganisasiannya, sumbernya adalah syariat Islam; tercakup di dalam pengertian syariat Islam ini adalah keseluruhan nash-nash ilahiyah dan seluruh ijtihad-ijtihad aqli dan ilmi dari manusia

Kedua: Amal Siyasi Islami adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari amal Islami secara umum. Hal ini tercakup oleh Islam yang syumul dan kenyataan bahwa Islam adalah manhaj kehidupan yang lengkap. Dan hal ini merupakan aqidah seorang muslim, di mana keimanannya tidak sah, dan agamanya tidak sempurna kecuali dengan aqidah ini.
www.al-ikhwan.net


0 komentar:

Posting Komentar